Banda Aceh - Dalam suasana yang kian panas akibat isu rencana pendirian empat batalyon di Aceh, Pengurus Wilayah Serikat Mahasiswa Muslimin Indonesia (PW SEMMI) Aceh mengambil langkah berbeda.
Mereka menyambangi langsung Panglima Kodam Iskandar Muda, bukan untuk merapat ke barisan kekuasaan, melainkan membuka ruang dialog kritis atas berbagai persoalan yang mencemaskan rakyat Aceh.
Audiensi yang digelar secara terbuka itu berlangsung dalam nuansa hangat namun tegas.
Delegasi SEMMI Aceh dipimpin oleh Ketua PW, T. Wariza Arismunandar, yang sejak awal menegaskan bahwa pertemuan ini adalah bagian dari tradisi intelektual dan keberpihakan moral mahasiswa terhadap rakyat, bukan endorsement diam-diam terhadap militerisasi Aceh.
"Kami tidak datang untuk menyampaikan karangan bunga atau aplaus kosong. Kami datang membawa suara rakyat, menyampaikan keresahan atas mandeknya program-program seperti Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI), Makan Bergizi Gratis (MBG), dan terutama kondisi sektor peternakan rakyat yang seperti anak tiri pembangunan," ujar Wariza lantang.
Dalam forum itu, SEMMI Aceh menyoroti betapa SPPI dan MBG pernah menjadi tumpuan harapan pemuda-pemuda kampung dan petani gurem di pelosok Aceh.
Tapi kini, program-program itu tak lebih dari dokumen sunyi dalam lemari birokrasi. Peternakan rakyat—yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi desa—tertinggal dalam lumpur ketidakpedulian.
“Kami ingin mengingatkan negara bahwa Aceh bukan hanya perlu stabilitas, tapi juga pangan, pendidikan, dan penghidupan yang layak,” tegas Wariza.
Namun pertemuan ini tak berhenti di urusan perut rakyat. SEMMI juga menyinggung isu yang belakangan ini mengusik benak publik Aceh: rencana pendirian empat batalyon baru di wilayah provinsi.
Isu yang menyulut polemik, membelah opini, dan menimbulkan kekhawatiran akan kembali menguatnya aroma militeristik di tanah bekas konflik.
"Kami datang bukan untuk bersalaman lalu pulang membawa amplop atau basa-basi. Kami ingin mendengar langsung alasan di balik rencana pendirian batalyon. Kami ingin ada ruang debat, bukan ruang penghakiman. Kita perlu membedah urgensi dan dampaknya bagi rakyat Aceh secara objektif," terang Wariza.
Dalam narasi penutupnya, Ketua PW SEMMI Aceh menyampaikan satu pernyataan tegas—pernyataan yang mungkin tak disukai para penjaga status quo:
“Audiensi ini bukan bentuk dukungan terhadap militerisasi. Kami tidak menjual suara kami, sepeser pun tidak kami terima dari pihak mana pun. Kami hadir dengan kepala tegak, karena kami tidak sedang bermain peran dalam panggung politik para elite,” tegasnya.
Ia melanjutkan, “SEMMI Aceh akan tetap berada di rel perjuangan rakyat. Kami ingin pembangunan yang adil, demokratis, dan berakar dari partisipasi warga. Aceh tidak butuh simbol kekuasaan baru, tapi strategi keberpihakan yang berpijak pada sejarah dan luka kolektif masyarakatnya.”
Audiensi ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ia menjadi pengingat bahwa masih ada suara mahasiswa yang tak bisa dibeli, yang tak gentar menyuarakan kebenaran, bahkan ketika kebenaran itu membuat penguasa gerah.
(Zainal/desi)