Denpasar, Bali – Seorang pria asal Bali, I Nyoman Sukena, menghadapi ancaman hukuman penjara hingga lima tahun setelah didakwa karena memelihara empat ekor landak Jawa (Hystrix javanica), satwa yang dilindungi menurut Undang-Undang Republik Indonesia. Dakwaan ini didasarkan pada Pasal 21 ayat (2) huruf a juncto Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE), yang menetapkan ancaman pidana penjara maksimal lima tahun dan denda hingga Rp100 juta bagi siapa pun yang menangkap, melukai, membunuh, atau memelihara satwa yang dilindungi tanpa izin.
Kronologi Kasus Kasus yang menimpa Nyoman Sukena bermula ketika ayah mertuanya menemukan dua ekor landak kecil di ladang beberapa tahun yang lalu. Landak-landak tersebut kemudian dirawat dan dipelihara hingga tumbuh dewasa. Setelah ayah mertuanya meninggal, Sukena melanjutkan perawatan terhadap hewan-hewan tersebut, yang kemudian berkembang biak menjadi empat ekor landak. Sukena, yang tinggal di daerah pedesaan di Bali, tidak menyadari bahwa landak tersebut merupakan satwa yang dilindungi secara hukum dan dianggap sebagai hama perkebunan oleh masyarakat setempat.
Namun, masalah muncul ketika seseorang melaporkan aktivitas Sukena kepada pihak berwenang. Ia kemudian didakwa melanggar regulasi konservasi satwa, dan kasus ini menarik perhatian luas di masyarakat, terutama mengingat motif Sukena yang hanya berniat merawat hewan-hewan tersebut.
Peraturan yang Mengatur Dakwaan terhadap I Nyoman Sukena merujuk pada beberapa ketentuan hukum, terutama pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDAHE. Dalam Pasal 21 ayat (2) huruf a UU ini disebutkan bahwa setiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, memelihara, memiliki, memperniagakan, mengangkut, atau memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup. Pelanggaran terhadap ketentuan ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 40 ayat (2), yang menyatakan bahwa siapa pun yang melanggar ketentuan Pasal 21 ayat (2) terancam pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp100 juta.
Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa juga mengatur tentang perlindungan spesies satwa yang dilindungi di Indonesia. Dalam lampiran peraturan ini, landak Jawa (Hystrix javanica) termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi.
Terbaru, Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga telah memperbarui daftar satwa yang dilindungi melalui Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, yang memuat perubahan daftar jenis satwa dan tumbuhan yang dilindungi di Indonesia.
Kasus yang menimpa I Nyoman Sukena memicu simpati dari berbagai kalangan masyarakat, salah satunya datang dari Fellycia Lapongadjo, seorang praktisi hukum dan aktivis lingkungan yang saat ini bertugas di Lebanon di sebuah lembaga sosial . Dalam pernyataan melalui pesan singkat WhatsApp, Fellycia menyatakan keprihatinannya terhadap kasus ini dan menyoroti pentingnya penegakan hukum yang mempertimbangkan niat serta latar belakang tindakan masyarakat.
"Kasus ini seharusnya dilihat dari perspektif yang lebih luas, yaitu niat baik individu dan kesenjangan informasi terkait regulasi satwa dilindungi. Penegakan hukum harus memerhatikan motif di balik tindakan masyarakat. Apabila jelas tidak ada niat jahat atau niat untuk memperdagangkan satwa, maka pendekatan yang lebih humanis dan edukatif harus dikedepankan," ungkap Fellycia.
Menurut Fellycia, kasus ini menunjukkan kurangnya sosialisasi dan edukasi regulasi terkait satwa dilindungi di masyarakat, terutama di pedesaan. Ia menekankan bahwa bukan hanya hukuman yang perlu ditekankan, tetapi juga upaya untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai aturan-aturan yang ada.
"Sebagai aktivis lingkungan, saya percaya bahwa tujuan utama regulasi perlindungan satwa adalah melestarikan keanekaragaman hayati. Namun, ketika ada masyarakat yang bermaksud baik merawat dan melindungi, meski tidak sadar bahwa mereka melanggar aturan, kita perlu memikirkan solusi yang tidak memberatkan. Dalam konteks ini, edukasi hukum adalah kunci," tambahnya.
Urgensi Sosialisasi dan Edukasi Hukum kepada Masyarakat Kasus Nyoman Sukena menjadi pengingat pentingnya edukasi hukum yang lebih baik di kalangan masyarakat, terutama di daerah pedesaan yang mungkin tidak memiliki akses yang memadai terhadap informasi mengenai regulasi satwa dilindungi.
Fellycia menekankan bahwa pemerintah dan lembaga terkait harus lebih proaktif dalam memberikan sosialisasi kepada masyarakat mengenai aturan-aturan yang berlaku, agar warga tidak terjebak dalam situasi hukum yang mereka tidak pahami.
"Penegakan hukum tidak boleh bersifat hitam-putih, terutama dalam kasus-kasus konservasi lingkungan. Kasus ini adalah pengingat bahwa masyarakat perlu dilindungi, bukan hanya dari kerusakan lingkungan, tetapi juga dari ancaman hukum yang mereka tidak pahami. Sosialisasi aturan perlindungan satwa harus menjadi prioritas," tutup Fellycia.
Penegakan Hukum Konservasi di Indonesia Indonesia memiliki banyak peraturan yang mengatur perlindungan satwa liar, namun implementasi dan pemahaman di tingkat masyarakat masih menjadi tantangan besar. Selain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan PP Nomor 7 Tahun 1999, Indonesia juga meratifikasi berbagai konvensi internasional, seperti Konvensi CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yang membatasi perdagangan spesies satwa liar yang terancam punah.
Namun, tanpa sosialisasi yang memadai, masyarakat yang berniat baik seperti Sukena bisa menjadi korban ketidaktahuan terhadap regulasi ini. Oleh karena itu, perlu ada upaya bersama dari pemerintah, lembaga hukum, dan masyarakat untuk menciptakan keseimbangan antara penegakan hukum dan edukasi.
(M.A)